Sylvia Aulia Rahmi

mengharungi samudera kehidupan

Perjalanan Penuh Perenungan

Terjadi sudah satu minggu yang lalu. Lewat begitu saja bagaikan mimpi. Tapi ini bukan mimpi, melainkan kejadian nyata yang sangat berharga bagiku. Mungkin pembaca akan menganggap hal ini biasa saja, bahkan tidak ada istimewanya. Tidak apa-apa, yang penting cerita ini adalah salah satu kenangganku. Perenungan dalam memperoleh pelajaran.

Senin, 12 Desember 2011. Seperti biasa aku sampai di halaman sekolah disambut oleh murid-murid berlarian mengejarku untuk bersalaman. “Assalamu’alaikum ustadzah.” Senyum Annisa, Azka, Dika, Dini, Naufal, Yudha masih membayangiku hingga kini. “Wa’alaikumussalam.” jawabku dengan senyum pada mereka dengan diiringi sapaan dan godaan kecil.

Kaki ku langkahkan menuju ruang guru. Pada saat aku memasuki ruangan, teman-teman guru menyambutku dengan memberikan surat undangan Seminar dan Workshop Nasional Model Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Dasar Inklusi di Indonesia.
“Ustadzah Vivi yang pergi jadi utusan, Ya! Teman-teman yang lain tidak bersedia diutus ke Jakarta untuk ikut kegiatan workshop. Padahal sekolah kita membutuhkan informasi dari Workshop ini.” Ustadzah Yaya berkata padaku.
…..
Di ruang kepala sekolah, semua kebutuhan keberangkatan disiapkan. Izin dari Mama dan Papa sudah aku dapatkan, walau hanya lewat telphon. Aku banyak diam. Mungkin karena terkejut tidak menyangka sebelumnya. “Ke Jakarta sendirian?” batin ku sendiri.

“Nah Ustadzah Vivi,  tiket pesawat dan travel PP sudah siap.” Kepala sekolah dan pengurus yayasan mempersiapkan transportasi keberangkatanku. “Nanti surat tugas minta pada Fauzan dan untuk kebutuhan lain hubungi Ustadzah Yaya. Ustadzah Vivi jangan khawatir, cukup persiapan kebutuhan dalam perjalanan saja.” Aku hanya menganggukkan kepala. Dalam fikiran berkecamuk segala tanya penuh kebimbangan.

Meniti hari menjelang Jum’at aku mengumpulkan informasi tentang Depok, lokasi tujuan perjalananku, informasi bandara dan apa yang akan dilakukan di sana. Semakin banyak informasi aku semakin cemas. Kutanya hatiku lebih dalam, apakah yang kubutuhkan sebenarnya agar aku tidak ragu? Bukankah perjalanan ini tidak sulit? Ya Rabbi.

Rabu sore, masuklah pesan dari ustadzah Fitrialis. “Zah Vivi, SDIT Cahaya Hati juga mengutus salah satu gurunya untuk workshop ke Jakarta. Dia minta jadwal transportasinya disamakan dengan Zah Vivi agar bisa bareng berangkat ke Jakarta nanti.” Oh, alangkah leganya hati ini. Ternyata aku tidak berjalan sendiri. Aku punya teman.

Tepat Jumat 16 Desember 2011, aku berangkat ke Depok. Di atas angkutan menuju bandara, mataku tak lepas dari memandang alam. Kelompok perkampungan, pepohonan, sawah ladang, gunung Marapi dan Singgalang. Entah mengapa semua terasa istimewa bagiku. “Semoga nanti aku dapat melihatnya kembali,” batinku.

Sudah lama sekali aku tidak naik pesawat terbang. Di bangku 33D Lion Air ini aku mengamati sekeliling. Kelebat memori masa silam kembali di ingatanku. Suasananya memang berbeda dengan pesawat Garuda, Merpati atau Mandala di masa aku kecil. Tetapi yang paling aku ingat pada masa itu adalah ketika berada di pesawat pinggangku diikat, dan saat ‘take off’ maupun ‘landing’ aku selalu menangis membuat kedua orangtuaku kerepotan.

Mengenang itu aku tersenyum sendiri. Perlahan aku mengikatkan sabuk yang ada di sandaran kursi ke pinggangku. Mendengar dan mengamati interuksi yang diberikan oleh pramugari cantik yang ada di depan. Memberi khabar pada keluarga bahwa pesawat yang aku tumpangi akan segera tinggal landas, kemudian aku langsung menonaktifkan ponselku. Penumpang lain kulihat juga sangat tertib dan disiplin dengan peraturan di sini. Tidak seperti rekaman gambar di dalam pesawat Merpati MA-60 dengan nomor penerbangan PKMZK yang mengalami kecelakaan, yang pernah kulihat ditayangan berita Metro-TV. Dimana di dalam rekaman gambar tersebut tampak penumpangnya tidak begitu disiplin dan tertib dengan peraturan saat berada di dalam pesawat.

Sesungguhnya yang Maha Berkuasa dan Menentukan hanyalah Allah. “Laa haula walaa quwata illabillah,”dzikirku dalam hati. Pesawat mulai bergerak. Pandanganku tetap ke luar jendela. Bergerak semakin menjauhi terminal di Bandara Internasional Minangkabau Padang Sumatera Barat. Pesawat berjalan  lambat di lintasannya. Tampak bibir pantai bersama alunan ombak menghempas bergerak bagaikan lambaian tangan. Semakin lama pesawat berjalan semakin cepat yang membuat pemandangan di mataku hanya berupa garis lurus. Dan “Hup!” aku sekarang terbang. Daratan semakin jauh kutinggalkan. Kapal nelayan penangkap ikan terlihat jelas mengapung di tengah lautan, semakin lama aku melihatnya berupa titik.

“Allah..” bisikku. Ada getaran halus di sisi hatiku. Dari buku, perkataan orang maupun gambar-gambar foto sering mengingatkan diri bahwa sesungguhnya kita ini hanyalah kecil. Tapi saat ini aku merasakan dan membuktikan langsung. Benarlah kenyataan bahwa kita adalah kecil dan tidak mempunyai daya. Ada yang Maha besar, Maha Agung, Maha Berkuasa atas semua ini. Alangkah malunya diri mengingat keangkuhan yang menganggap lebih sehingga menumbuhkan kelalaian dan kesombongan. “Allahu Akbar!”

Dua jam perjalanan di udara, akhirnya aku sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Mencari Taxi yang akan mengantarku ke Hotel Bumi Wiyata, tempat acara diselenggarakan. Aku harus sampai di lokasi acara sebelum pukul 15.00 WIB. Sedangkan jam di tanganku baru menunjukkan pukul 12.00 WIB. “OK, Depok. Aku datang.”

Registrasi dilakukan dengan lancar. Panitia yang sangat ramah memberikan kesan pertama yang memikat hati. Suasana yang bersahabat memberikan gambaran, sepertinya kegiatan ini tidak akan mudah dilupakan. Dalam agenda acara pembukaan dilaksanakan jam 19.30 WIB. “Ini kesempatan. Bisa istirahat dulu nih di kamar,” batinku sendiri.

Aku mencoba beradaptasi dengan suasana baru yang berasa berbeda dengan lingkunganku biasa. Dialeg bahasa warga khas daerah Jawa Barat sering terdengar, namun aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Adaptasi lidah pada makanan yang terasa asing di lidahku. Dan yang paling penting adaptasi pada waktu-waktu yang menandakan masuknya waktu shalat untuk wilayah Margonda-Depok tempat ku berada saat itu.

Pembukaan acara Seminar dan Workshop Nasional Model Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Dasar Inklusi di Indonesia berlangsung dengan menakjubkan. Dimeriahkan dengan penampilan permainan musik dan drama berjudul Malin Kundang oleh siswa dari Sekolah Lentera Insan. Selain anak normal, diantara mereka yang tampil adalah anak berkebutuhan khusus tergolong autis, aktif, sindrom. Aku mengetahuinya dari panitia saat menyampaikan kata sambutan pada pembukaan acara.

Dari rangkaian acara pembukaan, aku sangat tertarik dengan kisah yang disampaikan pada acara ini. Di mana ada sebuah keluarga dianugerahi anak. Awal kelahirannya tampak normal dan sehat. Hari-hari berikutnya, suami istri ini baru mengetahui bahwa anaknya memiliki kelainan. Yaitu tidak dapat mendengar dan berbicara. Khususnya suami terkejut dan tidak siap menerima kenyataan. Namun dia menyadari ini semua harus dihadapi. Di sini sang suami istri mulai menggali ilmu dan informasi agar mereka berhasil membesarkan anak mereka.

Memasuki usia sekolah, anak tidak dapat belajar karena tidak ada sekolah yang mau menerimanya. Kecuali sekolah khusus anak cacat. Yah, apa boleh buat. Namun ayah sang anak tidak mudah menyerah begitu saja. Si ayah memiliki prinsip yang disebutnya teori zona aman dan zona tidak aman. Zona aman berarti membentuk pribadi yang tidak mau maju, sedangkan zona tidak aman akan membentuk pribadi yang siap untuk maju. Dan prinsip ini diterapkan dalam mendidik anaknya.

Anak dibesarkan tidak manja. Anak sering dibawa ke tempat keramaian yang mau tidak mau menuntut anak untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan.  Dia belajar berkomunikasi langsung dengan orang normal yang rata-rata tidak mengenal bahasa isyarat. Lama-kelamaan si anak terbiasa dan akhirnya mampu berkomunikasi layaknya orang normal. Dibantu dengan alat bantu pendengaran dan berbicara dengan bahasa fasih hingga diapun tumbuh dewasa.

Anak yang dulunya para guru menganggap tidak akan menjadi apa-apa, ternyata dia telah menjadi seorang pengusaha sukses. Memiliki perkebunan besar yang dikerjakan oleh banyak pekerja. Memberikan lapangan pekerjaan untuk orang banyak. Banyak orang yang tidak menyangka bahwa pengusaha sukses itu adalah seorang yang tidak sama dengan orang normal. Dia tidak bisa mendengar.

Akhirnya secara resmi kegiatan workshop dibuka secara resmi oleh Wali Kota Depok, Bapak Nur Mahmudi Ismail. Dengan senyum khasnya dia membuka acara dengan membunyikan musik angklung.

Rangkaian kegiatan yang berlangsung selama 4 hari ini aku ikuti. Mulai dari seminar, diskusi kelompok hingga pemaparan makalah hasil diskusi. Di sini mulai dari guru, kepala sekolah hingga pengawas yang datang dari berbagai daerah saling bertukar fikiran maupun informasi. Tema utama diskusi adalah penerapan pendidikan inklusif di sekolah di seluruh wilayah Indonesia.

December 31, 2011 - Posted by | cerita, umum

No comments yet.

Leave a comment